Senin, 24 Desember 2012

TANTANGAN INDONESIA UNTUK MENJADI NEGARA MAJU TAHUN 2030

     Baru-baru ini McKinsey Global Institute (MGI) dalam laporan terbarunya yang dipublikasikan pada bulan September 2012 bertajuk "The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia's Potential" memprediksi bahwa Indonesia pada tahun 2030 berpotensi menjadi negara dengan perekonomian terbesar ketujuh dunia. Posisi Indonesia akan mengalahkan Jerman dan Inggris, tapi masih berada dibawah China, Amerika Serikat, India, Jepang, Brasil dan Rusia. Dalam laporan MGI tersebut, dikemukakan bahwa jejak rekam ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini sangat luar biasa, namun kurang mendapat apresiasi.  Padahal, saat ini saja Indonesia sudah menjadi negara ekonomi terbesar ke-16 di dunia dan diperkirakan akan terus berkembang.

     Sejalan dengan prediksi MGI diatas, Menteri PPN/Kepala Bappenas Prof. Dr. Armida S. Alisjahbana, SE, MA mengemukakan, berdasarkan The Global Competitiveness Index, (GCI) tahun 2012-2013 Indonesia berada di ranking 50 dengan score 4.4 atau sudah masuk dalam Stage 2 Development Global, dengan Efficiency Driven. Ini artinya,  perekonomian Indonesia sudah di-drive oleh efisiensi dari penggunaan berbagai faktor produksi. Armida menjelaskan,
bahwa stage development global ada tiga stage, yaitu stage 1 yang disebut Factor Driven;  stage 2  Efficiency Driven, dan stage 3 Innovation Driven yang diisi oleh negara maju (setkab.go.id, 18/9/12)

     Pernyataan serupa juga dikemukakan oleh Stefan Hofer, Direktur Eksekutif dan Peneliti Strategi Emerging Markets Bank Julius Baer. Stefen mengatakan bahwa Indonesia sangat menarik sebagai tujuan investasi. Pertumbuhan ekonomi kuat pada 2012-2013, karena Indonesia punya perekonomian yang begitu beragam, basis komoditas, konsumsi yang kuat, dan sektor jasa yang kuat. Pemerintah Indonesia juga punya program investasi yang menarik untuk investor. Gambaran jangka panjang Indonesia sangat baik.  Menurut Stefen, kalau melihat 10 tahun kebelakang, Indonesia membuat progres yang luar biasa dalam iklim usaha dan regulasi (Bisnis Indonesia, 20/9/2012).

     Apa yang dikatakan Stefen diatas, tentunya bukan sekedar basa basi. Karena berdasarkan data BKPM, Investasi Asing yang masuk ke Indonesia pada semester II-2012 akan tumbuh 30 persen. Menurut Ketua BKPM M Chatib Basri, Indonesia akan menjadi salah satu tujuan investasi bagi negara-negara maju seperti jepang yang ingin mendekati pasar. Meskipun dihadapi dengan persoalan korupsi dan inefisiensi birokrasi, ternyata Indonesia tetap memberikan keuntungan berinvestasi. Menurut Chatib, indikator seperti kondisi ekonomi makro yang sehat, status layak utang dan pasar yang besar menjadi jaminannya (Kompas, 19/9/2012).

     Langkah Indonesia menjadi negara maju sebagaimana pernah dinyatakan Presiden SBY sebenarnya sudah mulai diapresiasi oleh dunia. Negara-negara maju kini mulai menggandeng Indonesia untuk bersama-sama membahas dan menanggulangi permasalahan yang dihadapi dunia akibat ketidakpastian perekonomian global. Kini Indonesia sudah aktif sebagai anggota negara yang tergabung dalam organisasi negara maju G-20, bahkan tahun 2013 Indonesia telah didaulat untuk menjadi ketua APEC. Apresiasi internasional terhadap Indonesia, bukan saja di bidang ekonomi, tapi juga dibidang non ekonomi lainnya.

     Namun harus diakui, tantangan Indonesia untuk menjadi negara maju tidaklah mudah. Tantangan utama, Indonesia harus bisa memberantas korupsi dalam pemerintahan dan semua sektor kegiatan ekonomi. Masalah korupsi kini telah menjadi hambatan pembangunan di hampir seluruh sektor pembangunan di Indonesia. Masih maraknya korupsi, telah mengurangi kualitas dari hasil pembangunan. Misalnya gedung sekolah yang baru dibangun, bisa saja runtuh dalam waktu  satu tahun karena kualitas bangunannya yang rendah akibat di korupsi. Saking kesalnya dengan kondisi korupsi yang masih lambat penegakan hukumnya, baru-baru ini Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sempat melontarkan wacana perlunya meninjau ulang ketentuan tentang kewajiban membayar pajak bagi warga negara Indonesia. Logikanya, kalau hasil pajak dari rakyat masih tetap dikorupsi tanpa ada upaya penegakan hukum, maka kualitas pembangunan akan merosot, yang pada akhirnya pelayanan kepada rakyat akan rendah juga. Pernyataan Ketua PBNU tersebut, tentunya harus menjadi perhatian para pimpinan partai politik (parpol), karena sejak era reformasi, bandul korupsi sudah bergerak  ke para kader parpol, baik yang menjadi kepala daerah maupun DPR, termasuk DPRD.

     Dalam artikelnya berjudul Politisi Vampir yang dimuat di harian Kompas (5/7/12), Febri Diansyah, Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan, mengibaratkan koruptor yang berasal dari parpol atau  politisi yang korup itu (tentu tak semua politisi seperti itu) sebagai kisah pengisap darah yang mirip dengan cerita penguasa yang merampas hak-hak mendasar warga negaranya. Berjubah wakil rakyat, tetapi bersekongkol merampok anggaran negara dan menjual kewenangan yang dimilikinya. Korupsi para politisi ini lahir dari persekongkolan politik dengan kelompok bisnis atau korupsi yang dilakukan demi kepentingan dana politik. Oleh karena itu, tindakan korupsi yang dilakukan para kader parpol tersebut harus disetop agar tidak terjadi lagi kongkalingkong dengan para birokrat.

   Tantangan berikutnya adalah bagaimana mengatasi perilaku birokrasi dalam mengkoordinasi pembangunan, baik diantara internal pemerintahan maupun pusat dengan daerah. Misalnya pada saat ini banyak rencana pembangunan jalan-jalan tol yang macet bertahun-tahun, karena tidak ada kerjasama yang baik didalam pembebasan lahan diantara instansi terkait. Padahal dengan terbangunnya jalan-jalan tol dimaksud, maka akan memperlancar barang dan jasa untuk ekspor dan impor, baik melalui bandara udara maupun pelabuhan laut, sehingga akan berdampak positif terhadap perkembangan investasi di Indonesia.

     Begitu pula ternyata tidak mudah untuk mensinergikan instansi terkait agar arus barang ekspor impor yang melalui pelabuhan-pelabuhan laut di Indonesia dapat berjalan dengan lancar. Kalau di Singapura, "dwelling time" barang impor (waktu turun dari kapal sampai keluar pelabuhan) sekitar 1 hari dan di Malaysia sudah sekitar 2-3 hari, maka di Pelabuhan Tanjung Priok, sebagai pelabuhan termodern di Indonesia, "dwelling time" nya masih lebih dari 6 hari. Inilah salah satunya yang menyebabkan daya saing kita masih rendah dibandingkan Singapura atau Malaysia.

     Merubah paradigma birokrasi dari "dilayani"  menjadi "melayani"  dan mempercepat prosedur, memang tidak mudah. Meskipun reformasi birokrasi sudah dilaksanakan dan ada perbaikan di sejumlah instansi pemerintah, tapi tetap saja masyarakat belum puas. Misalnya, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menuding birokrasi di Indonesia sebagai salah satu faktor penghambat ekspor. Banyak pengusaha yang mengalami kesulitan dengan berbagai macam aturan ekspor yang dibuat dan diterapkan oleh pemerintah. Sekarang ini,  keluh ketua Kadin Suryo Bambang Sulisto, banyak aturan yang justru mempersulit para eksportir untuk mengekspor barang ke luar negeri. Padahal, jika ekspor berkurang, maka tentu akan memberikan dampak kepada perekonomian kita juga (Rakyat Merdeka, 18/9/2012), Kalau Indonesia sudah berhasil mengatasi dua tantangan diatas, yaitu pemberantasan korupsi dan merubah perilaku birokrasi menjadi lebih efisien, bersifat melayani, dan mampunmensinergikan instansi terkait untuk mendukung pembangunan, maka penulis yakin Indonesia tidak perlu menunggu sampai tahun 2030 untuk bisa berdiri sejajar dengan bangsa- bangsa maju lainnya. semoga bisa tercapai menjadi negara yang maju. amiiiiiin....

FAKTOR KEBERHASILAN DAN KEGAGALAN KEWIRAUSAHAWAN

A. Faktor Keberhasilan Kewirausahawan :
  1. Kerja keras dan ketekunan. Memiliki sikap serius, kerja keras dan tekun merupakan poin penting yang mendukung keberhasilan kewirausahaan, baik untuk usaha kecil maupun usaha besar. Keseriusan akan membawa pada kerja keras, karena setiap orang pasti menginginkan hasil yang maksimal berupa keberhasilan. Selain kerja keras juga kerja cerdas, “work hard and work smart” maksudnya semua yang dikerjakan harus terstruktur dengan tujuan yang jelas pula agar kemudian seluruh kerja bisa dievaluasi.
  2. Sikap all out. Memiliki sikap mental yang “habis-habisan” artinya berusaha semaksimal mungkin, dan tidak cepat menyerah pada keadaan, terutama pada tahun-tahun awal usaha tersebut didirikan.
  3.  Inovatif dan kreatif. Sikap kritis atas lingkungan sekitar akan menciptakan ide-ide baru sehingga akan terbentuk sikap inovatif dan kreatif. Sehingga dengan kreativitasnya seorang wirausaha dapat mengembangkan usahanya.
B. Faktor Kegagalan Kewirausahawan :
     Menurut Zimmerer (dalam Suryana, 2003 : 44-45) ada beberapa faktor yang menyebabkan wirausaha gagal dalam menjalankan usaha barunya:
  1. Tidak kompeten dalam manajerial. Tidak kompeten atau tidak memiliki kemampuan dan pengetahuan mengelola usaha merupakan faktor penyebab utama yang membuat perusahaan kurang berhasil.
  2. Kurang berpengalaman baik dalam kemampuan mengkoordinasikan, keterampilan mengelola sumber daya manusia, maupun kemampuan mengintegrasikan operasi perusahaan.
  3. Kurang dapat mengendalikan keuangan. Agar perusahaan dapat berhasil dengan baik, faktor yang paling utama dalam keuangan adalah memelihara aliran kas. Mengatur pengeluaran dan penerimaan secara cermat. Kekeliruan memelihara aliran kas menyebabkan operasional perusahan dan mengakibatkan perusahaan tidak lancar.
  4. Gagal dalam perencanaan. Perencanaan merupakan titik awal dari suatu kegiatan, sekali gagal dalam perencanaan maka akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaan.
  5. Lokasi yang kurang memadai. Lokasi usaha yang strategis merupakan faktor yang menentukan keberhasilan usaha. Lokasi yang tidak strategis dapat mengakibatkan perusahaan sukar beroperasi karena kurang efisien.
  6. Kurangnya pengawasan peralatan. Pengawasan erat berhubungan dengan efisiensi dan efektivitas. Kurang pengawasan mengakibatkan penggunaan alat tidak efisien dan tidak efektif.
  7. Sikap yang kurang sungguh-sungguh dalam berusaha. Sikap yang setengah-setengah terhadap usaha akan mengakibatkan usaha yang dilakukan menjadi labil dan gagal. Dengan sikap setengah hati, kemungkinan gagal menjadi besar.
  8. Ketidakmampuan dalam melakukan peralihan/transisi kewirausahaan. Wirausaha yang kurang siap menghadapi dan melakukan perubahan, tidak akan menjadi wirausaha yang berhasil. Keberhasilan dalam berwirausaha hanya bisa diperoleh apabila berani mengadakan perubahan dan mampu membuat peralihan setiap waktu.


KARAKTERISTIK KEWIRAUSAHAWAN

Pengertian Wirausaha 

     Menurut Para Ahli - Kata  wirausaha  atau  “pengusaha”  diambil  dari  bahasa  Perancis “entrepreneur”  yang  pada  mulanya  berarti  pemimpin  musik  atau pertunjukan (Jhingan, 1999:  425).  Dalam  ekonomi,  seorang  pengusaha  berarti  orang  yang memiliki kemampuan untuk mendapatkan peluang  secara berhasil. Pengusaha bisa jadi seorang yang berpendidikan tinggi, terlatih dan terampil atau mungkin seorang buta  huruf  yang memiliki  keahlian  yang  tinggi  di  antara  orang-orang  yang  tidak demikian.
     Menurut George  Gilder  dalam    The  Spirit  of  Enterprise,  mengatakan  “  Para wirausahawan  adalah para  inovator  yang  membangkitkan permintaan.”  Mereka adalah pembuat  pasar, pencipta  modal, pengembang  peluang  dan penghasilan tehnologi  baru.   Istilah kewirausahaan banyak dijumpai  dalam  uraian  yang merupakan kata  dasar  wirausaha  yang  berarti  segala  sesuatu  yang  berhubungan dengan kata wirausaha.

     Seorang wirausaha adalah seseorang yang memiliki visi bisnis atau harapan  dan  mengubahnya  menjadi  realita  bisnis.  Wirausaha adalah  seorang  pembuat keputusan  yang membantu  terbentuknya  sistem  ekonomi  perusahaan  yang  bebas. Sebagian besar  pendorong  perubahan  inovasi, dan kemajuan di  perekonomian, sehingga  wiarausaha adalah orang-orang  yang  memiliki  kemampuan untuk mengambil resiko dan mempercepat pertumbuha ekonomi.

Dalam mengelola usaha, wirausaha dituntut mengelola semua aspek kegiatan meliputi 6 M, yaitu :
1. Man (SDM)                   : pengalaman, tidak birokrasi, mandiri, dinamis,
                                            ulet, cepat  tanggap dan fleksibel.
2. Money (Dana)                : sumber dana yang mencukupi.
3. Materials (Bahan)           : bahan yang dibutuhkan untuk proses produksi.
4. Machine ( Mesin0           : Pelaratan/mesin yang memadai.
5. Methods (Cara Kerja)    : cara kerja yang tepat dan efektif.
6. Markets (Pasar)             : menciptakan pasar bagi barang hasil produksi.

Karakteristik wirausaha adalah sifat dasar yang melekat pada diri seorang wirausaha. dan berikut adalah Karakteristik Wirausahawan yang Andal :
1. Punya rasa percaya diri dan kemandirian yang tinggi.2. Mencintai kegiatan usahanya dan perusahaannya secara lugas dan tangguh.3. Mau dan mampu mencari dan menangkap peluang.4. Mau dan mampu bekerja keras dan menekuni bidang usahanya tanpa kenal menyerah.5. Mau dan mampu berkomunikasi baik dengan pihak internal maupun eksternal6. Mau dan mampu bernegosiasi dengan win-win solution.7. Menghadapi hidup dan menangani usaha dengan terencana, jujur, hemat, dan disiplin.8. Mau dan mampu meningkatkan kapasitas diri sendiri dan kapasitas perusahaan dengan mengelola dan memotivasi orang lain (leadership/managerialship).9. Mau dan mampu melakukan perluasan dan pengembangan usaha dgn resiko yang moderat.10. Berusaha mengenal dan mengendalikan lingkungan serta menggalang kemitraan.


KETENTUAN TARIF PAJAK PROGRESIF

     Pasal 7 Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 2010 tentang Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Pasal 7 Serta Pasal 12 Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2010 tentang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) di Provinsi DKI Jakarta Ditetapkan oleh KEPMENDAGRI Nomor 25 tahun 2010 tentang penghitungan dasar pengenaan PKB dan BBN-KB serta PERGUB (Peraturan Gubernur DKI Jakarta) Nomor 140 Tahun 2010 tanggal 28 Juli 2010 tentang Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB).
A. Tarif pajak Kendaraan Bermotor kepemilikan Pribadi :
Kendaraan bermotor kepemilikan orang pribadi berdasarkan nama dan/atau alamat yang sama dikenakan tarif Pajak Progresif Sebesar:
1. Kendaraan pertama 1,5 % ( 1,5 % x NJKB )
2. Kendaraan kedua 2 % ( 2 % x NJKB )
3. Kendaraan ketiga 2,5 % ( 2,5 % x NJKB )
4. Kendaraan keempat Dan Seterusnya 4 % ( 4 % x NJKB)

B. Tarif Pajak Kendaraan Bermotor untuk :
1. TNI / POLRI, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dikenakan tarif Pajak sebesar 0,50 %
2. Angkutan Umum, Ambulans, Mobil jenazah dan Pemadam Kebakaran dikenakan tarif pajak sebesar 0,50 %
3. Sosial Keagamaan, Lembaga Sosial dan Keagamaan dikenakan tarif Pajak sebesar 0,50 %

C. Tarif Pajak kendaraan Bermotor Alat Berat dan Besar :
Kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar dikenakan tarif pajak sebesar 0,20 %

D. Tarif Bea Balik Nama kendaraan bermotor (BBN-KB) :
1. Penyerahan Pertama Sebesar 10 %
2. Penyerahan Kedua dan Seterusanya sebesar 1 %

E. Tarif khusus untuk kendaraan alat-alat berat dan alat-alat besar :
1. Khusus untuk alat-alat berat pertama sebesar 0,75 %
2. Penyerahan kedua dan seterusnya 0,075 %

F. Penjelasan Pasal 12 tentang pendaftaran :
1. Wajib pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor wajib mendaftarkan penyerahan kendaraan bermotor dalam jangka waktu paling lambat 30 (Tiga puluh) hari kerja sejak saat penyerahan (Jual beli, Lelang, Tukar menukar, Waris/Hibah, atau Pemasukan ke dalam Badan Usaha)
2. Orang pribadi atau badan yang menyerahkan kendaraan bermotor melaporkan secara tertulis, penyerahan tersebut kepada Gubernur hal ini Kepala Dinas Pelayanan Pajak atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak saat penyerahan.

    Apabila melalaikan Pasal 12 tentang pendaftaran akan mengakibatkan terkena Sanksi dan tarif Pajak Progresif, untuk informasi lebih lanjut para Wajib Pajak dapat menghubungi Kantor SAMSAT di wilayah masing-masing.

DASAR PERHITUNGAN PAJAK BUMI BANGUNAN (PBB)


Dasar Penghitungan Pajak Bumi Bangunan

1. Pasal 6 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994 jo. PP No.25 Tahun 2002
     Yang menjadi dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (assessment value) atau NJKP, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya. NJKP ditetapkan serendah-rendahnya 20% (dua puluh persen) dan setinggi-tingginya 100% (seratus persen).
Besarnya persentase NJKP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.
Contoh :
Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp 1.000.000,00 persentase Nilai Jual Objek Pajak misalnya 20% maka besarnya Nilai Jual Kena Pajak : 20% x Rp 1.000.000,00 = Rp200.000,00


2. Pasal 7 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994
     Secara umum besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan pada rumus dibawah ini:
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOTKP)                                    
Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak (NJOPKP)                                 

Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)                                                  
= 20% X NJOPKP (untuk NJOP < 1 Miliar); atau
= 40% X NJOPKP (untuk NJOP 1 Miliar atau lebih)
Besarnya PBB terutang = 0,5 % X NJKP

   XXXXX     
    XXXXX (-)
XXXXX     
     
 XXXXX     


XXXXX   

PERKEMBANGAN AKUNTANSI PUBLIK DI INDONESIA

     Perkembangan akuntansi sektor publik di Indonesia – Penerapan Akuntansi Sektor Publik di Indonesia Salah satu bentuk penerapan teknik akuntansi sektor publik adalah di organisasi BUMN. Di tahun 1959 pemerintahan orde lama mulai melakukan kebijakan-kebijakan berupa nasionalisasi perusahaan asing yang ditransformasi menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tetapi karena tidak dikelola oleh manajer profesional dan terlalu banyaknya „politisasi‟ atau campur tangan pemerintah, mengakibatkan perusahaan tersebut hanya dijadikan „sapi perah‟ oleh para birokrat. Sehingga sejarah kehadirannya tidak memperlihatkan hasil yang baik dan tidak menggembirakan.

     Kondisi ini terus berlangsung pada masa orde baru. Lebih bertolak belakang lagi pada saat dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1983 tentang fungsi dari BUMN. Dengan memperhatikan beberapa fungsi tersebut, konsekuensi yang harus ditanggung oleh BUMN sebagai perusahaan publik adalah menonjolkan keberadaannya sebagai agent of development daripada sebagai business entity. Terlepas dari itu semua, bahwa keberadaan praktik akuntansi sektor publik di Indonesia dengan status hukum yang jelas telah ada sejak beberapa tahun bergulir dari pemerintahan yang sah. Salah satunya adalah Perusahaan Umum Telekomunikasi (1989).
  
      Deregulasi Akuntansi Sektor Publik Di Era Pra Reformasi - Krisis ekonomi dewasa ini telah membawa kita pada titik yang terburuk selama lebih dari 30 tahun. Dewasa ini kita menghadapi permasalahan yang bertumpuk-tumpuk. Ekonomi kita mengalami kontraksi yang besar dengan laju inflasi yang tinggi. Nilai tukar Rupiah jatuh, suku bunga tinggi. Pengaruh kemarau yang berkepanjangan pada tahun 1997, berdampak negatif pada produksi bahan makanan, yang pada gilirannya kita harus mengimpor beberapa jenis bahan makanan dalam jumlah yang cukup besar. Kegiatan produksi tersendat-sendat dan ekspor hasil industri manufaktur menghadapi berbagai hambatan, antara lain, oleh karena kesulitan untuk mengimpor bahan baku dan suku cadang. Sebabnya oleh karena hilangnya kepercayaan kepada perbankan nasional. Bank-bank dan perusahaan-perusahaan kita menghadapi masalah hutang yang berat baik di dalam maupun di luar negeri. Banyak industri telah mengurangi kegiatannya, bahkan ada yang telah menghentikannya. Oleh karena itu telah terjadi pemutusan hubungan kerja yang pada gilirannya telah menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran. Peningkatan jumlah pengangguran yang berlangsung bersamaan dengan meningkatnya laju inflasi telah mengakibatkan jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan yang sangat besar.

        Sementara itu kontraksi dalam kegiatan ekonomi dan anjloknya harga migas di satu pihak dihadapkan dengan upaya untuk mengurangi dampak negatif terhadap penduduk berpendapatan rendah di lain pihak pada gilirannya telah menyebabkan meningkatnya defisit dalam APBN. Tingkat kepercayaan (confidence) masyarakat yang masih rendah, tercermin pada kurs Rupiah yang belum stabil, walaupun selama bulan Agustus 1998 terlihat adanya kecenderungan makin menguatnya Rupiah, berkonsekuensi terhadap peningkatan harga-harga serta terhambatnya kegiatan produksi dan investasi di dalam negeri. Sejalan dengan tuntutan reformasi dan demokratisasi di segala bidang, kebijakan pemerintah di bidang hubungan keuangan pusat daerah juga mengalami reformasi, dan secara bertahap akan terus disempurnakan sesuai dengan perkembangan zaman. Arah reformasi hubungan keuangan Pusat dan Daerah adalah untuk meningkatkan kinerja pengelolaan keuangan negara dan daerah serta meningkatkan akuntabilitas publik. Reformasi dimaksud meliputi pengaturan dana perimbangan, pajak dan retribusi daerah, pinjaman daerah, serta pengelolaan keuangan daerah.

       Genderang reformasi telah ditabuh secara serentak oleh segenap lapisan masyarakat sejak tahun 1997. Kejatuhan maskapai penerbangan Orde Baru dari pucuk pimpinan Negara Kesatuan Republik Indonesia memberikan harapan besar untuk masyarakat Indonesia segera terbangunnya iklim berorganisasi yang sehat dengan berbasiskan “good governance” dalam rangka memakmurkan dan mensejahterahkan serta mencerdaskan Rakyat Indonesia. Dalam perjalanannya, reformasi dengan berbasiskan good governance untuk membangun Indonesia Baru ternyata banyak sekali kendala dan batasan-batasan yang kita miliki terutama berada dalam aspek hukum baik penciptaan hukum maupun penegakkan hukum itu sendiri.

        Pada era reformasi, masyarakat di sebagian besar wilayah Indonesia, baik di propinsi, kota maupun kabupaten mulai membahas laporan pertanggungjawaban kepala daerah masing-masing dengan lebih seksama. Beberapa kali terjadi pernyataan ketidakpuasan atas kepemimpinan kepala daerah dalam melakukan manajemen pelayanan publik maupun penggunaan anggaran belanja daerah. Melihat pengalaman di negara-negara maju, ternyata dalam pelaksanaannya, keingintahuan masyarakat tentang akuntabilitas pemerintahan tidak dapat dipenuhi hanya oleh informasi keuangan saja. Masyarakat ingin tahu lebih jauh apakah pemerintah yang dipilihnya telah beroperasi dengan ekonomis, efisien dan efektif. Sesuai dengan literatur good governance, perangkat hukum dan penegakkan hukum adalah prasyarat terbangunnya suatu good governance. Dengan segala hambatan dan keterbatasan yang kita miliki, semangat untuk membangun Indonesia Baru dengan berbasiskan good governance masih terus hidup hampir di segenap organisasi apakah itu organisasi Pemerintah maupun organisasi non Pemerintah.

         Dalam perspektif keuangan khususnya Institusi Pemerintah, reformasi sudah mulai dibangun dengan dikeluarkannya beberapa landasan hukum, pengenalan perangkat tehnologi untuk mempercepat proses organisasi, dan pengenalan serta kewajiban untuk menerapkan sistim organisasi dengan berbasiskan good governance kepada institusi Pemerintah. Perubahan total dalam proses dan struktur serta “contentisi” penganggaran pemerintah-APBN dan APBD serta Akuntansi merupakan 2 (dua) produk utama untuk membangun sistim organisasi yang berbasiskan good governance. Namun demikian, 2 (dua) produk reformasi keuangan ini akan tidak optimal jika tidak di imbangi oleh kesiapan sumber daya manusianya untuk menerima dan mengimplemen tasikan produk reformasi keuangan tersebut.

      Disamping kesiapan dan kompetensi serta didukung oleh budaya organisasi yang kondusif, faktor kualitas pelaporan organisasi juga harus mampu di bangun untuk melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap sistim organisasi berbasiskan good governance. Dengan sistim pelaporan yang efektif maka pengelolaan sumber daya organisasi khususnya sumber daya ekonomi dapat dipertanggungjawabkan secara adil dan terbuka. Sebagaimana kita ketahui bahwa Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No.22 thn 1999 tentang Pemerintahan Daerah dimana dalam pasal 30 disebutkan bahwa “setiap daerah dipimpin oleh seorang kepala daerah sebagai kepala eksekutif yang dibantu oleh seorang wakil kepala daerah”. Selanjutnya dalam pasal 4 ayat 3 dinyatakan bahwa “kepala daerah wajib menyampaikan laporan atas penyelenggaraan Pemerintahan daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada Gubernur bagi Kepala daerah Kabupaten dan Kepala daerah Kota, sekurang kurangnya sekali dalam setahun, atau jika dipandang perlu oleh Kepala Daerah atau apabila diminta oleh Presiden”.

       Dari pernyataan Undang-Undang No.22 than 1999 dalam pasal 22 dan 44 diatas, secara tegas dapat dilihat bahwa Para Eksekutif Daerah diharuskan untuk membuat sebuah laporan yang memuat bagaimana mereka menyelenggarakan Pemerintahannya. Dengan kata lain para Eksekutif Daerah harus membuat sebuah laporan untuk mempertanggungjawabkan kinerjanya setiap tahun dalamhal penyelenggaraan Pemerintahan. Selanjutnya Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.105 tahun 2000 mengenai pertanggungjawaban keuangan daerah sebagai tindak lanjut atas telah dikeluarkannya Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah. Dalam pasal 37 Peraturan Pemerintah No.105 ini secara tegas disebutkan bahwa Kepala daerah harus mempertanggungjawabkan Keuangan Daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disingkat DPRD). Untuk memaparkan secara jelas sehingga tidak terjadi kebingungan komunikasi antara Kepala Daerah dan DPRD maka laporan keuangan yang dimaksud dalam pertanggungjawaban adalah terdiri dari 4 (empat) laporan yaitu: Laporan Perhitungan APBD, Nota Perhitungan APBD, Laporan Aliran Kas, dan Neraca. Hal ini bisa dilihat dalam pasal 38 yang menyatakan bahwa “kepala daerah menyusun pertanggungjawaban keuangan daerah yang terdiri dari laporan perhitungan APBD, nota perhitungan APBD, laporan arus kas, dan neraca daerah”.

      Selain 2 (dua) perangkat hukum diatas yang mengatur laporan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah; Kepala Daerah juga harus membuat suatu laporan untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan DAU – Dana Alokasi Umum dan DAK – Dana Alokasi Khusus termasuk pinjaman daerah kepada Pemerintah Pusat (lihat PP No.106 thn 2000 pasal 7 dan 12; dan PP No.11 thn 2001 pasal 2). enyadari akan keterbatasan sumber daya manusia yang ada di daerah maka Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Dalam Negeri telah mengeluarkan Keputusan Pemerintah Dalam Negeri No.29 tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD. Dengan segala keterbatasannya, KepMen No.29 thn 2002 ini merupakan bentuk kepedulian Pemerintah Pusat betapa penting laporan pertanggungjawaban keuangan Pemerintah Daerah segera di realisasikan melalui pemberian pedoman bagaimana sistim dan prosedur Akuntansi dan Keuangan Pemerintahan daerah bisa dibuat.

       Seiring dengan telah dikeluarkannya berbagai perangkat hukum diatas, sebenarnya Ikatan Akuntan Indonesia telah memberikan respon yang elegan dengan membentuk kompartemen baru yaitu Kompartemen Akuntansi Sektor Publik. Melalui wadah kompartemen akuntansi sektor publik ini, perkembangan organisasi profesi sektor publik khususnya akuntansi sektor publik mulai menunjukkan titik terang. Meskipun sedikit terlambat akibat begitu dinamisnya lingkungan maupun struktur organisasi profesi sektor publik, sebuah Draft Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah (selanjutnya disingkat PSAP) telah dikeluarkan sebagaimana telah kita nantikan selama ini.

      Negara Kesatuan Republik Indonesia telah melakukan sebuah Reformasi Akuntansi sebagaimana dapat dilihat dalam gambar dibawah ini, dimulai melalui Perangkat hukum yang jelas yang diikuti oleh sebuah Standar Akuntansi Pemerintah sebagai acuan dasar terbentuknya sebuah laporan keuangan yang memiliki prinsip-prinsip adil, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada semua pihak. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia pada tahun 2001 memunculkan jenis akuntabilitas baru, sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999. Dalam hal ini terdapat tiga jenis pertanggungjawaban keuangan daerah yaitu (1) pertanggungjawaban pembiayaan pelaksanaan dekonsentrasi, (2) pertanggungjawaban pembiayaan pelaksanaan pembantuan, dan (3) pertanggungjawaban anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Sementara di tingkat pemerintah pusat, pertanggungjawaban keuangan tetap dalam bentuk pertanggungjawaban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Saat ini di Indonesia sedang dilakukan persiapan penyusunan suatu standar akuntansi pemerintahan yang lebih baik serta pembicaraan yang intensif mengenai peran akuntan publik dalam memeriksa keuangan negara maupun keuangan daerah. Namun tampak bahwa akuntabilitas pemerintahan di Indonesia masih berfokus pada sisi pengelolaan keuangan negara atau daerah.

      Pembaharuan manajemen keuangan daerah di era otonomi daerah ini, ditandai dengan perubahan yang sangat mendasar, mulai dari sistem pengganggarannya, perbendaharaan sampai kepada pertanggungjawaban laporan keuangannya. Sebelum bergulirnya otonomi daerah, pertanggungjawaban laporan keuangan daerah yang harus disiapkan oleh Pemerintah Daerah hanya berupa Laporan Perhitungan Anggaran dan Nota Perhitungan dan sistem yang digunakan untuk menghasilkan laporan tersebut adalah MAKUDA (Manual Administrasi Keuangan Daerah) yang diberlakukan sejak tahun 1981. Dengan bergulirnya otonomi daerah, laporan pertanggungjawaban keuangan yang harus dibuat oleh Kepala Daerah adalah berupa Laporan Perhitungan Anggaran, Nota Perhitungan, Laporan Arus Kas dan Neraca Daerah. Kewajiban untuk menyampaikan laporan keuangan daerah ini diberlakukan sejak 1 Januari 2001, tetapi hingga saat ini pemerintah daerah masih belum memiliki standar akuntansi pemerintahan yang menjadi acuan di dalam membangun sistem akuntansi keuangan daerahnya. Kedua jenis laporan terakhir yaitu neraca daerah dan laporan arus kas tidak mungkin dapat dibuat tanpa didasarkan pada suatu standar akuntansi yang berterima umum di sektor pemerintahan. Standar akuntansi pemerintahan inilah yang selalu menjadi pertanyaan bagi pemerintah daerah, karena bagaimana mungkin suatu laporan neraca daerah dapat disusun tanpa didasarkan suatu standar akuntansi. Pertanyaan lain yang juga muncul adalah apakah standar akuntansi pemerintahan ini harus mengacu sepenuhnya kepada praktek-praktek akuntansi yang berlaku secara internasional ? Pemerintah Daerah masih banyak yang ragu dalam menerapkan suatu sistem akuntansi keuangan daerah karena ketiadaan standar, walaupun dalam penjelasan pasal 35 PP 105/2000 disebutkan bahwa sepanjang standar dimaksud belum ada, dapat digunakan standar yang berlaku saat ini. Lebih lanjut, dalam pasal-pasal lainnya disebutkan bahwa kewenangan untuk menyusun sistem dan prosedur akuntansi sepenuhnya merupakan kewenangan daerah, yaitu :
Pasal 14 ayat (1) menetapkan bahwa keputusan tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah diatur dengan Peraturan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 14 ayat (3) menetapkan bahwa sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah diatur dengan Keputusan Kepala Daerah sesuai dengan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Dari ketentuan tersebut di atas, seharusnya penerapan sistem dan prosedur akuntansi dalam rangka penyusunan laporan keuangan daerah dapat menggunakan standar akuntansi yang ada atau berlaku selama ini, tidak perlu harus menunggu standar akuntansi pemerintahan yang disusun oleh Komite Standar Akuntansi Pemerintahan sesuai pasal 57 ayat (2) UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Kewajiban pemerintah daerah untuk menyusun neraca, laporan realisasi anggaran, laporan arus kas dan nota perhitungan merupakan kewajiban yang tidak bisa ditunda-tunda karena hal tersebut merupakan pertanggungjawaban kepala daerah kepada DPRD.

      Tidak dipenuhinya kewajiban tersebut tentunya akan membawa konsekuensi penolakan oleh DPRD, yang akan menimbulkan dampak politis terhadap pemecatan Kepala Daerah karena dianggap telah melanggar ketentuan hokum yang ada. Ketiadaan standar akuntansi pemerintahan , tidaklah berarti laporan keuangan pemerintah daerah tidak dapat disusun. Ketentuan yang ada mengharuskan kepala daerah menyampaikan pertanggungjawabkannya kepada DPRD dalam bentuk neraca, laporan arus kas, laporan perhitungan/realisasi anggaran dan nota perhitungan. Sejak awal tahun 2002, pemerintah daerah sudah membuat neraca awal daerah dengan mengacu kepada Pedoman SAKD hasil Tim Pokja SK Menkeu 355/2001 dan Kepmendagri 29/2002 dan ketentuan-ketentuan yang berlaku serta praktek-praktek internasional.

      Hingga saat ini, pemerintah daerah yang telah memiliki neraca daerah sebanyak 169 Pemerintah Daerah berdasarkan hasil asistensi yang dilakukan oleh BPKP sebagai anggota Tim Pokja 355/2001. Hal ini merupakan tonggak sejarah bukan saja bagi pemerintah daerah, tetapi juga bagi pemerintah Indonesia. Dengan adanya neraca tersebut, maka laporan pertanggungjawaban keuangan daerah akan menjadi lebih transparan dan akuntabel kepada publik.

AKUNTANSI MANAJEMEN SEKTOR PUBLIK

pengertian akuntansi manajemen
       menurut Chartered Institute of Management Accountant (1994:30) yaitu: Penyatuan bagian manajemen yg mencakup, penyajian & penafsiran informasi yg digunakan ukt perumusan strategi, aktivitas perencanaan & pengendalian, pembuatan keputusan, optimalisasi penggunaan sumber daya, pengungkapan kpd pemilik & pihak luar, pengungkapan kpd pekerja, pengamanan asset.

     Akuntansi sektor publik pada dasarnya dipengaruhi perkembangan pemikiran manajemen. Perkembangan pemikiran ini tdk terlepas dari knowledge management. Knowledge management ini sendiri memengaruhi peran daripada akuntansi manajemen.

Pada dasarnya, akuntansi manajemen ini lbh didasari oleh praktik:
1. Factory Accounting.
2. Budgeting.
3. Cost Accounting.

Proses akuntansi manajemen dapat dikembangkan dgn berbagai metode, antara lain:
1. Menyampaikan informasi secara cepat & tepat merupakan teknik penyaringan informasi yg relevan.
2. Pendelegasian kuasa kpd tenaga kerja merupakan teknik pengembangan kekuatan tim melalui pemberian kepercayaan.
3. Flatening struktur manajemen merupakan proses penyederhanaan struktur.
4. Menggunakan cross fungsional team merupakan proses saling isi menurut keahlian & kekuatan antara tim yg terlibat.

Peran utama akuntansi manajemen dalam organisasi sektor pulik 
     adalah memberikan informasi akuntansi yg relevan & handal kpd manajer ukt melaksanakan fungsi perencanaan & pengendalian organisasi. Tuntutan mengenai perlunya pengendalian atas berbagai kegiatan pemerintah, khususnya yg berimplikasi uang, dari waktu ke waktu semakin meningkat. Hal ini terjadi akibat praktik KKN di waktu yg lalu tdk saja telah mengakibatkan berkurangnya percepatan pembangunan, melainkan juga telah menimbulkan kesenjangan baik antara wilayah, sektor & golongan serta merugikan khususnya bagi lapisan masyarakat bawah.
     Peran fundamental akuntansi manajemen di organisasi sektor publik adl membantu manajer/pimpinan dgn informasi akuntansi yg dibutuhkan agar fungsi perencanaan & pengendalian dpt dilakukan. Secara rinci, tujuan umum tersebut dpt diturunkan menjadi:
1. Membantu manajemen dalam proses perencanaan organisasi.
2. Membantu manajemen dalam mengendalikan operasi/kegiatan organisasi.
3. Membantu manajemen memformulasi kebijakan organisasi.

PAJAK DAERAH

PENGERTIAN
Menurut Tony Marsyahrul (2004:5) : “Pajak daerah adalah pajak yang di kelolah oleh pemerintah daerah (baik pemerintah daerah TK.I maupun pemerintah daerah TK.II) dan hasil di pergunakan untuk membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan daerah (APBD)”.
Menurut Mardiasmo, (2002:5) : “Pajak adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat di paksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di gunakan untuk membiayai penyelenggarakan pemerintah daerah dan pembangunan daerah”.

JENIS-JENIS PAJAK DAERAH

Berdasarkan Undang-Undang No.34 Tahun 2000 jenis-jenis pajak daerah adalah sebagai berikut :
1. Pajak Daerah Kabupaten/Kota menurut UU 34/2000 terdiri dari :
a)      Pajak Hotel.
b)      Pajak Restoran
c)      Pajak Hiburan
d)     Pajak Reklame
e)      Pajak Penerangan Jalan
f)       Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C
g)      Pajak Parkir
Contoh peraturan pajak daerah adalah di kabupaten Musi banyuasin.
Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin telah mengeluarkan beberapa peraturan daerah sebagai berikut :
  • Peraturan Daerah No. 26 Tahun 2002 tentang Pajak Hotel
  • Peraturan Daerah No. 26 Tahun 2002 tentang Pajak Reklame
  • Peraturan Daerah No. 28 Tahun 2002 tentang Pajak Hiburan
  • Peraturan Daerah No. 29 Tahun 2002 tentang Pajak Restoran
 KARAKTERISTIK PAJAK DAERAH
1. pajak hotel
     Menurut peraturan daerah No. 26 tentang Pajak Hotel (2002:1) : “pajak hotel di sebut pajak daerah pungutan daerah atas penyelenggaraan hotel”. Hotel adalah : “Bangunan yang khusus disediakan bagi orang untuk dapat menginap/istirahat, memperoleh pelayanan atau fasilitas lainnya dengan di pungut bayaran, termasuk bangunan yang lainnya yang mengatur,di kelolah dan dimiliki oleh pihak yang sama kecuali untuk pertokoan dan perkantoran”. Pengusaha hotel ialah : “Perorangan atau badan yang menyelenggarakan usaha hotel untuk dan atas namanya sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain yang menjadi tanggungannya”.
Objek pajak adalah : “Setiap pelayanan yang disediakan dengan pembayaran di hotel, Objek pajak berupa
1)      :Fasilitas penginapan seperti gubuk pariwisata (cottage), Hotel,wisma,losmen dan rumah penginapan termasuk rumah kost dengan jumlah kamar 15 atau lebih menyediakan fasilitas seperti rumah penginapan.
2)      Pelayanan penunjang antara lain : Telepon, faksimilie, teleks, foto copy, layanan cuci, setrika, taksi dan pengangkut lainnya disediakan atau dikelolah hotel
3)      Fasilitas Olahraga dan hiburan

Subjek pajak hotel adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran atas pelayanan hotel. Wajib pajak hotel adalah : “Pengusaha hotel”. Dasar pengenaan adalah : “Jumlah pembayaran yang dilakukan kepada hotel dan tarif pajak ditetapkan sebesar 10%, Masa pajak I (satu) bulan takwim, jangka waktu lamanya pajak terutang dalam masa pajak pada saat pelayanan di hotel.

2. Pajak Restoran
     Menurut Peraturan Daerah No. 29 tentang Pajak Restoran (2002:1) : “pajak restoran yang di sebut pajak adalah pungutan daerah atas pelayanan restoran. Restoran atau rumah makan adalah : “Tempat menyantap makanan dan atau minuman yang disediakan dengan dipungut bayaran,tidak termasuk usaha jasa boga atau catering.
Objek Pajak yaitu setiap pelayanan yang disediakan dengan pembayaran di restoran. Subjek pajak orang pribadi atau badan yang melakukan pembayaran atas pelayanan restoran, Wajib pajak rastoran yaitu Pengusaha restoran dan tarif pajak di tetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).

3. Pajak Hiburan 
     Menurut Peraturan Daerah No.28 tentang Pajak Hiburan (2002:1) : “Pajak Hiburan atau di sebut pajak adalah pajak hiburan di Kabupaten Musi Banyuasin. Hiburan ialah “semua jenis pertunjukan permainan dengan nama dan bentuk apapun yang di tonton atau di nikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran di Kabupaten Musi Banyuasin.
Objek Pajak Semua Penyelenggaraan Hiburan berupa :
1)      .Penyelenggara pertunjukan film di bioskop dengan tarif pajak sebesar 31%
2)      .Pertunjukan kesenian tradisional, Pertunjukan sirkus, Pemeran seni, Pameran busana dengan tarif pajak 10%.
3)      Pergelaran Musik dan tarif ditetapkan sebesar 15%
4)      Karaoke ditetapkan sebesar 20%
5)      Permainan Bilyar ditetapkan sebesar 20%
6)      Pertandingan Olahraga ditetapkan sabesar 10%
Subjek pajak hiburan orang pribadi atau badan yang menonton atau menikmati hiburan, Wajib pakak hiburan orang pribadi atau badan penyelenggara hiburan.

4. Pajak Reklame
     Menurut Peraturan Daerah No.27 Tentang Pajak Reklame (2002:1) : Pajak reklame yang selanjutnya disebut pajak adalah pungutan daerah atas penyelenggaraan reklame. Reklame yaitu benda, alat, media yang menurut bentuk susunan dan corak raganya untuk tujuan komersial di pergunakan untuk memperkenalkan,mengajukan atau memujikan suatu barang, jasa atau orang yang di tempatkan atau di dengar dari suatu tempat oleh umum kecuali yang di lakukan oleh pemerintah.
Objek Pajak ialah penyelenggara reklame seperti :
1)      Reklame Kain
2)      Reklame Melekat, Stiker
3)      Reklame Berjalan termasuk pajak kendaraan
4)       Reklame Udara
5)      Reklame Suara
6)      Reklame Film/Slide
7)      Reklame Peragaan
Subjek Pajak Reklame adalah : “Orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan atau memesan reklame.Tarif pajak ditetapkan sebesar 25%.

Landasan Hukum Dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah
     Dasar Hukum : Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23 Ayat (2) : “Segala Pajak Untuk Keperluan Negara Berdasarkan Undang-Undang”. Dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah adalah : “Undang-Undang No.18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah sebagaimana telah di ubah terakhir dengan Undang-Undang No.34 Tahun 2000.

JENIS DAN MACAM PAJAK DI INDONESIA

Jenis Pajak

     Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Departemen Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota.

Pajak-pajak Pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi :

1. Pajak Penghasilan (PPh)
     PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adlah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.

2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
     PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN. Tarif PPN adalah tunggal yaitu sebesar 10%. Dalam hal ekspor, tarif PPN adalah 0%. Yang dimaksud Dengan Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, peraian, dan ruang udara diatasnya.

3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM)
     Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah :
a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau
d. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
e. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.

4. Bea Meterai
     Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.

5. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
     PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat namun demikian hampir seluruh realisasi penerimaan PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota.

6. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
     BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.

Pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain meliputi :

1. Pajak Propinsi
a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor;
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.

2. Pajak Kabupaten/Kota
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C;
g. Pajak Parkir.

TARIF DAN OBJEK PAJAK

1.Sebesar 15% dari jumlah bruto atas :
a.dividen, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) huruf "g" Undang-undang PPh;
b.bunga, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (1) huruf "f";
c.royalti;
d.hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 Ayat (1) huruf "e" Undang-undang PPh.
Hadiah dan penghargaan yang dipotong  Pajak Penghasilan 21 adalah hadiah dan penghargaan dalam bentuk apa pun yang diterima atau diperoleh 
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan yang diselenggarakan, misalkan kegiatan olah raga, keagamaan, kesenian, dan kegiatan lainnya.
Adapun hadiah dan penghargaan yang dipotong  Pajak Penghasilan 23 adalah hadiah dan penghargaan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh 
Wajib Pajak badan dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan yang diselenggarakan.
2.Sebesar 15% dari jumlah bruto dan bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi.
3.Sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto atas :
a.sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan persewaan tanah dan atau bangunan yang dikenakan PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996;
b.imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan hukum, jasa konsultan pajak, dan jasa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1) huruf "c" Undang-undang Pajak Penghasilan, yang dilakukan oleh Wajib Pajak Dalam Negeri atau Bentuk Usaha Tetap selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.

KETENTUAN-KETENTUAN PAJAK

ketentuan-ketentuan pajak diantaranya,yaitu :

1. Subyek pajak
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, subyek pajak penghasilan adalah sebagai berikut:
a. Subyek pajak pribadi yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia
b. Bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, atau badan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di Indonesia.
c. Subyek pajak harta warisan belum dibagi yaitu warisan dari seseorang yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka pendapatan itu dikenakan pajak.
d. Subyek pajak badan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah.

2. Bukan subyek pajak

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 200 menjelaskan tentang apa yang tidak termasuk obyek pajak sebagai berikut:
a. Badan perwakilan negara asing.
b. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat - pejabat lain dari negara asing dan orang - orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat bukan warga negara indonesia dan negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
c. Organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia.
 d. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat bukan warga negara indonesia dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia.

3. Obyek pajak

     Objek pajak penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak darimanapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak tersebut.
     Pengertian penghasilan dalam Undang-undang PPh tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan. Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
     Karena Undang-undang PPh menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu Tahun Pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (Kompensasi Horisontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.