Senin, 16 Mei 2011

BUNGA TINGGI, SIAPA UNTUNG??

     GLOBALISASI, yang sering diperkirakan bakal mendatangkan kemakmuran akibat meningkatnya volume perdagangan dunia, agaknya kontraktif dengan tesis Peter Drucker. Pakar manajemen itu berpendapat, dalam era terakhir ini, arus uang yang mobilitasnya semakin cepat dan volumenya meraksasa di dunia makin lama makin tak berhubungan dengan arus barang. Kini perkembangan pasar uang dan modal yang meraksasa memang hasil globalisasi di satu pihak, dan lain pihak adanya dana idle yang sangat besar di lembaga tertentu. baik di sektor moneter maupun sektor rill yang semuanya menjanjikan profitabilitas yang tinggi dan cepat. dengan demikina kita dapat memahami jika tiba-tiba dunia di kejutkan oleh krisis besar di sebuah negara seperti meksiko pada tahun 1994 atau di sebuah perusahaan Baring di singapura pada tahun 1995, di sektor perbankan ataupun di pasar modal terbesar di dunia.

     Akibat negatif dari globalisasi pergerakan modal spekulatif dan jangka pendek yang makin intensif, yang tak lagi dapat dikendalikan oleh otoritas moneter tiap-tiap negara. tapi hal itu lebih dikontrol oleh kalangan fund manager tingkat global,yang tak mengenal loyalitas pada sebuah negara, selain pada perburuan tingkat profit, gain, atau sekedar rente yang hampir tak ada nilai tambahnya.

     Tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi sekitar 8% pada 1995, dengan GDP sekitar RP450 triliun-yang patut kita banggakan-sesungguhnya sebagian besar hanya disumbang oleh sekitar 66.428 unit usaha menengah dan besar/UMB atau 0,2% saja dari total 33,5 juta unit usaha yang ada. dan dari penguasaan pangsa GNP yang 61% tersebut, 76% dikuasai oleh hanya 300 konglomerat-38 di antaranya menguasai 44%-dan Grup Salim sendiri telah menguasai 8,3%. melihat alokasi kredit perbankan pada 1995,yakni sekitar Rp200 triliun telah dinikmati kalangan UMB. ditambah dengan kemampuan mencari offshore loan, diperkirakan kalangan usaha swasta besar memanfaatkan mendekati 50% dari seluruh utang luar negeri Indonesia, yang berjumlah sekitar US$100 miliar-berarti sebesar Rp110 triliun.

     Maka dengan kemampuan menyerap kredit perbankan dalam dan luar negeri yang sangat besar tersebut,serta tingkat pertumbuhan yang tinggi dari usaha kelompok swasta besar ini-seperti dikhawatirkan ketua Bappenas Ginandjar Kartasasmita-kepincangan ekonomi ini di masa depan akan makin tajam. dengan tingkat bunga yang tinggi seperti sekarang, mereka tetap saja dapat memiliki profitabilitas,yang konon bisa mencapai 30%-40%.

     Dengan tingkat kepincangan yang cenderung terus memburuk selama ini, apa saja yang dapat kita tangkap dari kebijaksanaan pemerintah untuk menurunkan atau setidaknya mengeremnya selam ini? kita mencatat, terdapat 3 kebijakanaan moneter melalui skema perkreditan (KUK,KKU,KUT,kredit KUD,KKPA,KCK), berbagai fasilitas permodalan-dana 1%-5% dari laba BUMN dan kelompok Jimbaran, modal veteran, obligasi, bursa paralel- dan penjaminan kredit bagi UK. ketiga,mendorong peningkatan daya beli dan program pengurangan kemiskinan absolut.

     Maka amat mengherankan reaksi yang hampir emosional dari kalangan ekonom terhadap problem suku bunga tinggi-dengan sekadar berdebat untuk teknis modal, cara menghitung dan semacamnya. seharusnya agenda debat publik lebih difokuskan pada pemecahan inflasi dan suku bunga tinggi,dalam rangka mengurangi ketimpangan yang sangat parah dewasa ini. Apakah kita harus menunggu nasib seperti Pakistan yang sukses di akhir 1960-an, dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi,tapi akhirnya ambruk karena sekitar 85% kekayaan nasional negara tersebut terkonsentrasi hanya di kalangan 15 keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar