Senin, 24 Desember 2012

TANTANGAN INDONESIA UNTUK MENJADI NEGARA MAJU TAHUN 2030

     Baru-baru ini McKinsey Global Institute (MGI) dalam laporan terbarunya yang dipublikasikan pada bulan September 2012 bertajuk "The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia's Potential" memprediksi bahwa Indonesia pada tahun 2030 berpotensi menjadi negara dengan perekonomian terbesar ketujuh dunia. Posisi Indonesia akan mengalahkan Jerman dan Inggris, tapi masih berada dibawah China, Amerika Serikat, India, Jepang, Brasil dan Rusia. Dalam laporan MGI tersebut, dikemukakan bahwa jejak rekam ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini sangat luar biasa, namun kurang mendapat apresiasi.  Padahal, saat ini saja Indonesia sudah menjadi negara ekonomi terbesar ke-16 di dunia dan diperkirakan akan terus berkembang.

     Sejalan dengan prediksi MGI diatas, Menteri PPN/Kepala Bappenas Prof. Dr. Armida S. Alisjahbana, SE, MA mengemukakan, berdasarkan The Global Competitiveness Index, (GCI) tahun 2012-2013 Indonesia berada di ranking 50 dengan score 4.4 atau sudah masuk dalam Stage 2 Development Global, dengan Efficiency Driven. Ini artinya,  perekonomian Indonesia sudah di-drive oleh efisiensi dari penggunaan berbagai faktor produksi. Armida menjelaskan,
bahwa stage development global ada tiga stage, yaitu stage 1 yang disebut Factor Driven;  stage 2  Efficiency Driven, dan stage 3 Innovation Driven yang diisi oleh negara maju (setkab.go.id, 18/9/12)

     Pernyataan serupa juga dikemukakan oleh Stefan Hofer, Direktur Eksekutif dan Peneliti Strategi Emerging Markets Bank Julius Baer. Stefen mengatakan bahwa Indonesia sangat menarik sebagai tujuan investasi. Pertumbuhan ekonomi kuat pada 2012-2013, karena Indonesia punya perekonomian yang begitu beragam, basis komoditas, konsumsi yang kuat, dan sektor jasa yang kuat. Pemerintah Indonesia juga punya program investasi yang menarik untuk investor. Gambaran jangka panjang Indonesia sangat baik.  Menurut Stefen, kalau melihat 10 tahun kebelakang, Indonesia membuat progres yang luar biasa dalam iklim usaha dan regulasi (Bisnis Indonesia, 20/9/2012).

     Apa yang dikatakan Stefen diatas, tentunya bukan sekedar basa basi. Karena berdasarkan data BKPM, Investasi Asing yang masuk ke Indonesia pada semester II-2012 akan tumbuh 30 persen. Menurut Ketua BKPM M Chatib Basri, Indonesia akan menjadi salah satu tujuan investasi bagi negara-negara maju seperti jepang yang ingin mendekati pasar. Meskipun dihadapi dengan persoalan korupsi dan inefisiensi birokrasi, ternyata Indonesia tetap memberikan keuntungan berinvestasi. Menurut Chatib, indikator seperti kondisi ekonomi makro yang sehat, status layak utang dan pasar yang besar menjadi jaminannya (Kompas, 19/9/2012).

     Langkah Indonesia menjadi negara maju sebagaimana pernah dinyatakan Presiden SBY sebenarnya sudah mulai diapresiasi oleh dunia. Negara-negara maju kini mulai menggandeng Indonesia untuk bersama-sama membahas dan menanggulangi permasalahan yang dihadapi dunia akibat ketidakpastian perekonomian global. Kini Indonesia sudah aktif sebagai anggota negara yang tergabung dalam organisasi negara maju G-20, bahkan tahun 2013 Indonesia telah didaulat untuk menjadi ketua APEC. Apresiasi internasional terhadap Indonesia, bukan saja di bidang ekonomi, tapi juga dibidang non ekonomi lainnya.

     Namun harus diakui, tantangan Indonesia untuk menjadi negara maju tidaklah mudah. Tantangan utama, Indonesia harus bisa memberantas korupsi dalam pemerintahan dan semua sektor kegiatan ekonomi. Masalah korupsi kini telah menjadi hambatan pembangunan di hampir seluruh sektor pembangunan di Indonesia. Masih maraknya korupsi, telah mengurangi kualitas dari hasil pembangunan. Misalnya gedung sekolah yang baru dibangun, bisa saja runtuh dalam waktu  satu tahun karena kualitas bangunannya yang rendah akibat di korupsi. Saking kesalnya dengan kondisi korupsi yang masih lambat penegakan hukumnya, baru-baru ini Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) sempat melontarkan wacana perlunya meninjau ulang ketentuan tentang kewajiban membayar pajak bagi warga negara Indonesia. Logikanya, kalau hasil pajak dari rakyat masih tetap dikorupsi tanpa ada upaya penegakan hukum, maka kualitas pembangunan akan merosot, yang pada akhirnya pelayanan kepada rakyat akan rendah juga. Pernyataan Ketua PBNU tersebut, tentunya harus menjadi perhatian para pimpinan partai politik (parpol), karena sejak era reformasi, bandul korupsi sudah bergerak  ke para kader parpol, baik yang menjadi kepala daerah maupun DPR, termasuk DPRD.

     Dalam artikelnya berjudul Politisi Vampir yang dimuat di harian Kompas (5/7/12), Febri Diansyah, Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan, mengibaratkan koruptor yang berasal dari parpol atau  politisi yang korup itu (tentu tak semua politisi seperti itu) sebagai kisah pengisap darah yang mirip dengan cerita penguasa yang merampas hak-hak mendasar warga negaranya. Berjubah wakil rakyat, tetapi bersekongkol merampok anggaran negara dan menjual kewenangan yang dimilikinya. Korupsi para politisi ini lahir dari persekongkolan politik dengan kelompok bisnis atau korupsi yang dilakukan demi kepentingan dana politik. Oleh karena itu, tindakan korupsi yang dilakukan para kader parpol tersebut harus disetop agar tidak terjadi lagi kongkalingkong dengan para birokrat.

   Tantangan berikutnya adalah bagaimana mengatasi perilaku birokrasi dalam mengkoordinasi pembangunan, baik diantara internal pemerintahan maupun pusat dengan daerah. Misalnya pada saat ini banyak rencana pembangunan jalan-jalan tol yang macet bertahun-tahun, karena tidak ada kerjasama yang baik didalam pembebasan lahan diantara instansi terkait. Padahal dengan terbangunnya jalan-jalan tol dimaksud, maka akan memperlancar barang dan jasa untuk ekspor dan impor, baik melalui bandara udara maupun pelabuhan laut, sehingga akan berdampak positif terhadap perkembangan investasi di Indonesia.

     Begitu pula ternyata tidak mudah untuk mensinergikan instansi terkait agar arus barang ekspor impor yang melalui pelabuhan-pelabuhan laut di Indonesia dapat berjalan dengan lancar. Kalau di Singapura, "dwelling time" barang impor (waktu turun dari kapal sampai keluar pelabuhan) sekitar 1 hari dan di Malaysia sudah sekitar 2-3 hari, maka di Pelabuhan Tanjung Priok, sebagai pelabuhan termodern di Indonesia, "dwelling time" nya masih lebih dari 6 hari. Inilah salah satunya yang menyebabkan daya saing kita masih rendah dibandingkan Singapura atau Malaysia.

     Merubah paradigma birokrasi dari "dilayani"  menjadi "melayani"  dan mempercepat prosedur, memang tidak mudah. Meskipun reformasi birokrasi sudah dilaksanakan dan ada perbaikan di sejumlah instansi pemerintah, tapi tetap saja masyarakat belum puas. Misalnya, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menuding birokrasi di Indonesia sebagai salah satu faktor penghambat ekspor. Banyak pengusaha yang mengalami kesulitan dengan berbagai macam aturan ekspor yang dibuat dan diterapkan oleh pemerintah. Sekarang ini,  keluh ketua Kadin Suryo Bambang Sulisto, banyak aturan yang justru mempersulit para eksportir untuk mengekspor barang ke luar negeri. Padahal, jika ekspor berkurang, maka tentu akan memberikan dampak kepada perekonomian kita juga (Rakyat Merdeka, 18/9/2012), Kalau Indonesia sudah berhasil mengatasi dua tantangan diatas, yaitu pemberantasan korupsi dan merubah perilaku birokrasi menjadi lebih efisien, bersifat melayani, dan mampunmensinergikan instansi terkait untuk mendukung pembangunan, maka penulis yakin Indonesia tidak perlu menunggu sampai tahun 2030 untuk bisa berdiri sejajar dengan bangsa- bangsa maju lainnya. semoga bisa tercapai menjadi negara yang maju. amiiiiiin....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar